SABUT KELAPA ATAU COCONUT FIBER
Sabut merupakan bagian mesokarp (selimut) yang berupa serat-serat kasar kelapa . Sabut biasanya disebut sebagai limbah yang hanya ditumpuk di bawah tegakan tanaman kelapa lalu dibiarkan membusuk atau kering. Pemanfaatannya paling banyak hanyalah untuk kayu bakar. Secara tradisional, masyarakat telah mengolah sabut untuk dijadikan tali dan dianyam menjadi kesed. Padahal sabut masih memiliki nilai ekonomis cukup baik . Sabut kelapa jika diurai akan menghasilkan serat sabut (cocofibre) dan serbuk sabut (cococoir). Namun produk inti dari sabut adalah serat sabut. Dari produk cocofibre akan menghasilan aneka macam derivasi produk yang manfaatnya sangat luar biasa.
<Sumber : Wikipedia>
MERANCANG AGRO INDUSTRI SABUT KELAPA
Selama ini sabut lebih banyak terbuang sia-sia di sentra-sentra penghasil kelapa. Biasanya limbah ini hanya ditumpuk di bawah tegakan tanaman kelapa lalu dibiarkan membusuk atau kering. Pemanfaatannya paling banyak hanyalah untuk kayu bakar. Padahal sabut masih memiliki nilai ekonomis cukup baik. Secara tradisional, masyarakat telah mengolah sabut untuk dijadikan tali dan dianyam menjadi kesed. Namum volume serta nilai dari agroindustri ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan total volume sabut yang dihasilkan oleh tanaman kelapa. Nilai tertinggi (grade I) dari agroindustri sabut kelapa adalah serat lurus yang halus. Grade II serat lurus kasar. Grade III serat kusut. Selain itu masih ada hasil sampingan berupa gabus atau coco dush. Untuk memperoleh hasil ini, diperlukan sebuah unit pengolahan dengan perencanaan yang baik. Tahun 1998, awal krisis ekonomi di Indonesia, banyak pengusaha yang telah mencoba investasi untuk mengolah sabut kelapa menjadi serat dan gabus. Hasilnya belum optimal, sebab yang dihasilkan masih berupa serat kusut hingga belum bisa diekspor. Serat demikian masih harus dipres menjadi blok-blok padat hingga pengangkutannya tidak makan banyak tempat. Nilai serat akan lebih tinggi lagi kalau sudah digrade menjadi 3 macam kualitas.
Mesin pengolah sabut kelapa bervariasi mulai dari yang sangat sederhana sampai yang super canggih. Sistemnya ada dua, proses kering dan proses basah. Yang selama ini banyak digunakan untuk mengolah sabut adalah proses kering. Proses tersebut kalau disederhanakan, hanyalah berupa penghancuran sabut dan kemudian pemisahan antara serat dengan gabusnya. Ada mesin semi manual yang sangat sederhana. Nilai investasinya di bawah Rp 50.000.000,- per unit. Yang agak canggih nilai investasinya mencapai Rp 100.000.000,- per unit. Jenis inilah yang paling banyak dibeli para investor yang ingin mencoba peruntungan mereka pada sabut kelapa. Namun kalau mau produknya siap ekspor, nilai investasinya per unit di atas Rp 1.000.000.000,- Mesin canggih ini hanya cocok untuk kawasan penghasil kelapa di luar Jawa. Misalnya di Lampung atau Sulawesi. Di sana populasi tanaman kelapa masih cukup banyak hingga bisa memasok sabut untuk mesin canggih tersebut. Sebab kapasitas mesin ini mencapai ratusan ton per hari. Sementara mesin senilai Rp 50.000.000,- dan Rp 100.000.000,- hanya mampu mengolah sabut di bawah 10 ton per hari. Hingga nilai investasi yang akan ditanamkan untuk agroindustri sabut kelapa, harus disesuaikan dengan populasi serta sebaran tanaman kelapa. Namun, investasi hanya sebatas Rp 100.000.000,- di sentra kelapa di Jawa, resikonya juga sangat tinggi. Lebih-lebih kalau mesin tersebut kita beli dalam bentuk sudah jadi. Sebab bahan-bahan mesin tersebut, misalnya pisau, belt, gir dll. kualitasnya kelas 3. Idealnya kita membeli disain dari Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP) di Bogor, lalu membeli komponen kelas 1 dan minta bengkel untuk merakitnya.
Agroindustri sabut kelas Rp 100.000.000,- yang banyak bermunculan sejak tahun 1998, akhirnya banyak yang tutup. Kendalanya pada faktor pemasaran. Padahal permintaan serat sabut maupun coco dush tetap tinggi. Harganya juga cukup menarik. Mulai dari Rp 900,- per kg. grade I, Rp 700,- grade II, Rp 500,-grade III dan Rp 200,- untuk coco dushnya. Yang jadi masalah adalah, agroindustri tersebut tidak pernah dirancang dengan konsep yang matang. Lokasi yang dipilih, sebenarnya memang merupakan sentra kelapa yang cukup besar. Misalnya Banyuwangi di Jatim, Kebumen, Purwokerto dan Cilacap di Jateng, Ciamis dan Sukabumi di Jabar serta Pandeglang di Banten. Namun investor itu biasanya soliter. mereka hanya punya satu sampai dua mesin, kemudian bermaksud ekspor. Lokasi di Ciamis dan Pandeglang misalnya, sebenarnya memiliki potensi untuk 20 unit mesin dengan nilai investasi mencapai Rp 2 milyar. Masing-masing mesin kelas Rp 100.000.000,- hanya efisien untuk menangani sentra kelapa dengan radius 5 km. Jarak tersebut masih memungkinkan pemungut sabut untuk naik angkot, sepeda motor maupun sepeda. Seandainya jalan kaki pun masih kuat. Di atas radius 5 km. sabut harus diangkut dengan kendaraan khusus (pick up), hingga nilai bahan baku menjadi terlalu tinggi. Itulah sebabnya radius 5 km. tersebut dijadikan acuan.
Hasil yang diperoleh dari unit ini berupa serat kusut yang belum digrade. Untuk itu, diperlukan 1 unit mesin untuk grading, pres dan packing. Nilai mesin ini sudah di atas Rp 1.000.000.000,- per unit. Mesin demikian mampu melayani 20 unit mesin proses awal. Karenanya nilai investasi total untuk agroindustri sabut di Jawa bisa mencapai Rp 3.000.000.000,- Kalau program ini dipotong-potong, akan menjadi tidak efisien lagi. Sebab kalau hanya membangun mesin finishing tanpa 20 unit mesin untuk proses awal, maka mesin canggih tersebut akan menganggur. Kalau mesin-mesin kecil itu tanpa disertai mesin untuk finishing, maka hasilnya tidak bisa diekspor. Kalau kita investasi mesin canggih yang bisa memproses dari awal sampai siap ekspor, maka sebaran populasi kelapa yang tidak merata itu akan menjadi kendala. Sebab nilai bahan baku akan menjadi terlalu tinggi. Itulah dilema agroindustri sabut kelapa di Jawa. Investor yang punya dana segar Rp 3 milyar, pasti akan mikir-mikir untuk menangani bisnis ini. Sebaliknya mereka yang secara teknis melihat peluangnya, biasanya tidak memiliki modal sebesar itu. Sementara para penjual mesin tidak pernah benar-benar tahu mengenai agroindustri sabut kelapa. Sebab mereka hanya tahu secara teknis bagaimana mengolah sabut dan selanjutnya merayu investor untuk membeli mesin mereka. Problematik agroindustri sabut seperti ini, sama sekali tidak mereka ketahui.
Awal dari pengembangan sebuah agroindustri sabut kelapa, dimulai dengan survei. Baik survei lapangan untuk merancang produksi, maupun survei pasar. Survei lapangan meliputi penentuan volume sabut. Cara paling mudah untuk itu adalah, dengan mencegat di gerbang keluar sentra kelapa. Misalnya, untuk kawasan kab. Pandeglang dilakukan di jalan raya Pandeglang Serang. Sebab hampir seluruh volume kelapa dari kabupaten ini akan dipasarkan segar di Jakarta. Misalnya dalam satu hari ada 3 truk besar kapasitas 5 ton, 5 truk engkel kapasitas 3 ton dan 4 pick up kapasitas 2 ton. Hingga total ada 38 ton yang hari itu diangkutdari Kab. Pandeglang. Uji petik ini bisa ditambah dengan melakukan wawancara dengan pedagang beberapa pedagang kelapa tersebut. Sebab mereka kenal satu sama lain. Hingga ada gambaran, berapa sebenarnya volume sabut yang ada di kabupaten tersebut. Survei ini baru menjawab volume sabut. Harus dilanjutkan dengan penentuan titik untuk lokasi pabrik. Meskipun populasi pohon kelapanya cukup untuk kapasitas satu unit, tetapi kalau sebarannya di atas 5 km. dari titik tersebut, sebaiknya jangan dipilih. Survei inilah yang paling sulit dan memakan waktu cukup lama. Untuk kawasan Kab. Pandeglang dan sekaligus Lebak, lokasi unit finishingnya harus di sekitar kota Serang, agar truk tronton tidak terlalu sulit datang dan pergi melalui jalan tol untuk menjangkau pelabuhan terdekat.
Dari hasil survei ini, sebenarnya kita sudah bisa merancang sebuah project proposal. Namun investor pasti masih mempertanyakan prospek pasarnya secara riil. Untuk itu diperlukan survei pasar. Untuk bisa menjangkau pasar ekspor salah satu cara termurah adalah dengan melacak melalui internet. Dari sana akan bisa diperoleh datar pembeli di luar negeri. Alamat tersebut harus dikontak satu per satu untuk menentukan, apakah dia masih aktif, sudah mati atau sudah berubah komoditas. Dari situs ini kita juga bisa melacak harga terakhir. Untuk survei ini, diperlukan dua macam ketermpilan. Pertama keterampilan melacak di komputer, kedua keterampilan seluk-beluk perdagangan ekspor. Ini semua memerlukan biaya yang tidak kecil. Sebab meskipun pelaksanaan survei hanya berada di ruang kerja, tetap memerlukan tenaga yang digaji atau diberi honor. Pembeli berupa perusahaan besar, kemungkinan memiliki perwakilan di Jakarta. Kantor perwakilan inilah yang bisa kita datangi. Cara lain untuk melacak pasar ekspor adalah, dengan mendatangi atase perdagangan di kedutaan negara pengimpor. Misalnya Jepang, negara-negara MEE dan Timur Tengah. Kontak dengan para pembeli untuk menanyakan harga kadang-kadang tidak mudah, sebab pembeli tersebut akan ganti menanyakan contoh produk dengan penawaran harga dari kita.
Investor besar, biasanya hanya akan tertarik untuk menangani finishing dan ekspor. Hingga 20 unit mesin kecil harus kita tawarkan ke investor kecil. Untuk itulah harus dibuat sebuah program hulu hilir yang lengkap. Yang bisa mempertemukan investor besar dengan investor kecil, hanyalah pemerintah kabupaten atau provinsi. Karena biaya survei dan penyusunan project proposal juga cukup besar, sementara investor belum ada, maka seyogyanya dana survei ini ditanggulangi oleh pemerintah kabupaten maupun provinsi. Ini merupakan biaya investasi yang akan terbayarkan setelah proyek berjalan, berupa retribusi, pajak dan bergeraknya roda ekonomi mikro. Ini semua baru akan bisa dijalankan apabila aparat pemerintah kabupaten dan provinsi sudah berubah dari pola KKN menjadi pola bisnis yang lebih rasional. Kalau mental aparat pemerintah kabupaten dan provinsi masih berbau KKN, maka yang akan terjadi adalah pemerasan terhadap para calon investor. (R) * * *
<Sumber : Forum Kerjasama Agribisnis>
Bagi Anda yang membutuhkan atau mau membeli serabut kelapa atau coconut fiber dari Manado, Sulawesi Utara, khususnya daerah Sangihe, dengan kapasitas besar..
Silahkan hubungi :
PT. PANCARAN BERKAT MULIA, Kalasuge Kec.Tabukan Utara, Kab. Sangihe, Sulawesi Utara.
Contact Person : F.M. MASSORA,
Hp 085240192657
Sabut merupakan bagian mesokarp (selimut) yang berupa serat-serat kasar kelapa . Sabut biasanya disebut sebagai limbah yang hanya ditumpuk di bawah tegakan tanaman kelapa lalu dibiarkan membusuk atau kering. Pemanfaatannya paling banyak hanyalah untuk kayu bakar. Secara tradisional, masyarakat telah mengolah sabut untuk dijadikan tali dan dianyam menjadi kesed. Padahal sabut masih memiliki nilai ekonomis cukup baik . Sabut kelapa jika diurai akan menghasilkan serat sabut (cocofibre) dan serbuk sabut (cococoir). Namun produk inti dari sabut adalah serat sabut. Dari produk cocofibre akan menghasilan aneka macam derivasi produk yang manfaatnya sangat luar biasa.
<Sumber : Wikipedia>
MERANCANG AGRO INDUSTRI SABUT KELAPA
Selama ini sabut lebih banyak terbuang sia-sia di sentra-sentra penghasil kelapa. Biasanya limbah ini hanya ditumpuk di bawah tegakan tanaman kelapa lalu dibiarkan membusuk atau kering. Pemanfaatannya paling banyak hanyalah untuk kayu bakar. Padahal sabut masih memiliki nilai ekonomis cukup baik. Secara tradisional, masyarakat telah mengolah sabut untuk dijadikan tali dan dianyam menjadi kesed. Namum volume serta nilai dari agroindustri ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan total volume sabut yang dihasilkan oleh tanaman kelapa. Nilai tertinggi (grade I) dari agroindustri sabut kelapa adalah serat lurus yang halus. Grade II serat lurus kasar. Grade III serat kusut. Selain itu masih ada hasil sampingan berupa gabus atau coco dush. Untuk memperoleh hasil ini, diperlukan sebuah unit pengolahan dengan perencanaan yang baik. Tahun 1998, awal krisis ekonomi di Indonesia, banyak pengusaha yang telah mencoba investasi untuk mengolah sabut kelapa menjadi serat dan gabus. Hasilnya belum optimal, sebab yang dihasilkan masih berupa serat kusut hingga belum bisa diekspor. Serat demikian masih harus dipres menjadi blok-blok padat hingga pengangkutannya tidak makan banyak tempat. Nilai serat akan lebih tinggi lagi kalau sudah digrade menjadi 3 macam kualitas.
Mesin pengolah sabut kelapa bervariasi mulai dari yang sangat sederhana sampai yang super canggih. Sistemnya ada dua, proses kering dan proses basah. Yang selama ini banyak digunakan untuk mengolah sabut adalah proses kering. Proses tersebut kalau disederhanakan, hanyalah berupa penghancuran sabut dan kemudian pemisahan antara serat dengan gabusnya. Ada mesin semi manual yang sangat sederhana. Nilai investasinya di bawah Rp 50.000.000,- per unit. Yang agak canggih nilai investasinya mencapai Rp 100.000.000,- per unit. Jenis inilah yang paling banyak dibeli para investor yang ingin mencoba peruntungan mereka pada sabut kelapa. Namun kalau mau produknya siap ekspor, nilai investasinya per unit di atas Rp 1.000.000.000,- Mesin canggih ini hanya cocok untuk kawasan penghasil kelapa di luar Jawa. Misalnya di Lampung atau Sulawesi. Di sana populasi tanaman kelapa masih cukup banyak hingga bisa memasok sabut untuk mesin canggih tersebut. Sebab kapasitas mesin ini mencapai ratusan ton per hari. Sementara mesin senilai Rp 50.000.000,- dan Rp 100.000.000,- hanya mampu mengolah sabut di bawah 10 ton per hari. Hingga nilai investasi yang akan ditanamkan untuk agroindustri sabut kelapa, harus disesuaikan dengan populasi serta sebaran tanaman kelapa. Namun, investasi hanya sebatas Rp 100.000.000,- di sentra kelapa di Jawa, resikonya juga sangat tinggi. Lebih-lebih kalau mesin tersebut kita beli dalam bentuk sudah jadi. Sebab bahan-bahan mesin tersebut, misalnya pisau, belt, gir dll. kualitasnya kelas 3. Idealnya kita membeli disain dari Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP) di Bogor, lalu membeli komponen kelas 1 dan minta bengkel untuk merakitnya.
Agroindustri sabut kelas Rp 100.000.000,- yang banyak bermunculan sejak tahun 1998, akhirnya banyak yang tutup. Kendalanya pada faktor pemasaran. Padahal permintaan serat sabut maupun coco dush tetap tinggi. Harganya juga cukup menarik. Mulai dari Rp 900,- per kg. grade I, Rp 700,- grade II, Rp 500,-grade III dan Rp 200,- untuk coco dushnya. Yang jadi masalah adalah, agroindustri tersebut tidak pernah dirancang dengan konsep yang matang. Lokasi yang dipilih, sebenarnya memang merupakan sentra kelapa yang cukup besar. Misalnya Banyuwangi di Jatim, Kebumen, Purwokerto dan Cilacap di Jateng, Ciamis dan Sukabumi di Jabar serta Pandeglang di Banten. Namun investor itu biasanya soliter. mereka hanya punya satu sampai dua mesin, kemudian bermaksud ekspor. Lokasi di Ciamis dan Pandeglang misalnya, sebenarnya memiliki potensi untuk 20 unit mesin dengan nilai investasi mencapai Rp 2 milyar. Masing-masing mesin kelas Rp 100.000.000,- hanya efisien untuk menangani sentra kelapa dengan radius 5 km. Jarak tersebut masih memungkinkan pemungut sabut untuk naik angkot, sepeda motor maupun sepeda. Seandainya jalan kaki pun masih kuat. Di atas radius 5 km. sabut harus diangkut dengan kendaraan khusus (pick up), hingga nilai bahan baku menjadi terlalu tinggi. Itulah sebabnya radius 5 km. tersebut dijadikan acuan.
Hasil yang diperoleh dari unit ini berupa serat kusut yang belum digrade. Untuk itu, diperlukan 1 unit mesin untuk grading, pres dan packing. Nilai mesin ini sudah di atas Rp 1.000.000.000,- per unit. Mesin demikian mampu melayani 20 unit mesin proses awal. Karenanya nilai investasi total untuk agroindustri sabut di Jawa bisa mencapai Rp 3.000.000.000,- Kalau program ini dipotong-potong, akan menjadi tidak efisien lagi. Sebab kalau hanya membangun mesin finishing tanpa 20 unit mesin untuk proses awal, maka mesin canggih tersebut akan menganggur. Kalau mesin-mesin kecil itu tanpa disertai mesin untuk finishing, maka hasilnya tidak bisa diekspor. Kalau kita investasi mesin canggih yang bisa memproses dari awal sampai siap ekspor, maka sebaran populasi kelapa yang tidak merata itu akan menjadi kendala. Sebab nilai bahan baku akan menjadi terlalu tinggi. Itulah dilema agroindustri sabut kelapa di Jawa. Investor yang punya dana segar Rp 3 milyar, pasti akan mikir-mikir untuk menangani bisnis ini. Sebaliknya mereka yang secara teknis melihat peluangnya, biasanya tidak memiliki modal sebesar itu. Sementara para penjual mesin tidak pernah benar-benar tahu mengenai agroindustri sabut kelapa. Sebab mereka hanya tahu secara teknis bagaimana mengolah sabut dan selanjutnya merayu investor untuk membeli mesin mereka. Problematik agroindustri sabut seperti ini, sama sekali tidak mereka ketahui.
Awal dari pengembangan sebuah agroindustri sabut kelapa, dimulai dengan survei. Baik survei lapangan untuk merancang produksi, maupun survei pasar. Survei lapangan meliputi penentuan volume sabut. Cara paling mudah untuk itu adalah, dengan mencegat di gerbang keluar sentra kelapa. Misalnya, untuk kawasan kab. Pandeglang dilakukan di jalan raya Pandeglang Serang. Sebab hampir seluruh volume kelapa dari kabupaten ini akan dipasarkan segar di Jakarta. Misalnya dalam satu hari ada 3 truk besar kapasitas 5 ton, 5 truk engkel kapasitas 3 ton dan 4 pick up kapasitas 2 ton. Hingga total ada 38 ton yang hari itu diangkutdari Kab. Pandeglang. Uji petik ini bisa ditambah dengan melakukan wawancara dengan pedagang beberapa pedagang kelapa tersebut. Sebab mereka kenal satu sama lain. Hingga ada gambaran, berapa sebenarnya volume sabut yang ada di kabupaten tersebut. Survei ini baru menjawab volume sabut. Harus dilanjutkan dengan penentuan titik untuk lokasi pabrik. Meskipun populasi pohon kelapanya cukup untuk kapasitas satu unit, tetapi kalau sebarannya di atas 5 km. dari titik tersebut, sebaiknya jangan dipilih. Survei inilah yang paling sulit dan memakan waktu cukup lama. Untuk kawasan Kab. Pandeglang dan sekaligus Lebak, lokasi unit finishingnya harus di sekitar kota Serang, agar truk tronton tidak terlalu sulit datang dan pergi melalui jalan tol untuk menjangkau pelabuhan terdekat.
Dari hasil survei ini, sebenarnya kita sudah bisa merancang sebuah project proposal. Namun investor pasti masih mempertanyakan prospek pasarnya secara riil. Untuk itu diperlukan survei pasar. Untuk bisa menjangkau pasar ekspor salah satu cara termurah adalah dengan melacak melalui internet. Dari sana akan bisa diperoleh datar pembeli di luar negeri. Alamat tersebut harus dikontak satu per satu untuk menentukan, apakah dia masih aktif, sudah mati atau sudah berubah komoditas. Dari situs ini kita juga bisa melacak harga terakhir. Untuk survei ini, diperlukan dua macam ketermpilan. Pertama keterampilan melacak di komputer, kedua keterampilan seluk-beluk perdagangan ekspor. Ini semua memerlukan biaya yang tidak kecil. Sebab meskipun pelaksanaan survei hanya berada di ruang kerja, tetap memerlukan tenaga yang digaji atau diberi honor. Pembeli berupa perusahaan besar, kemungkinan memiliki perwakilan di Jakarta. Kantor perwakilan inilah yang bisa kita datangi. Cara lain untuk melacak pasar ekspor adalah, dengan mendatangi atase perdagangan di kedutaan negara pengimpor. Misalnya Jepang, negara-negara MEE dan Timur Tengah. Kontak dengan para pembeli untuk menanyakan harga kadang-kadang tidak mudah, sebab pembeli tersebut akan ganti menanyakan contoh produk dengan penawaran harga dari kita.
Investor besar, biasanya hanya akan tertarik untuk menangani finishing dan ekspor. Hingga 20 unit mesin kecil harus kita tawarkan ke investor kecil. Untuk itulah harus dibuat sebuah program hulu hilir yang lengkap. Yang bisa mempertemukan investor besar dengan investor kecil, hanyalah pemerintah kabupaten atau provinsi. Karena biaya survei dan penyusunan project proposal juga cukup besar, sementara investor belum ada, maka seyogyanya dana survei ini ditanggulangi oleh pemerintah kabupaten maupun provinsi. Ini merupakan biaya investasi yang akan terbayarkan setelah proyek berjalan, berupa retribusi, pajak dan bergeraknya roda ekonomi mikro. Ini semua baru akan bisa dijalankan apabila aparat pemerintah kabupaten dan provinsi sudah berubah dari pola KKN menjadi pola bisnis yang lebih rasional. Kalau mental aparat pemerintah kabupaten dan provinsi masih berbau KKN, maka yang akan terjadi adalah pemerasan terhadap para calon investor. (R) * * *
<Sumber : Forum Kerjasama Agribisnis>
Bagi Anda yang membutuhkan atau mau membeli serabut kelapa atau coconut fiber dari Manado, Sulawesi Utara, khususnya daerah Sangihe, dengan kapasitas besar..
Silahkan hubungi :
PT. PANCARAN BERKAT MULIA, Kalasuge Kec.Tabukan Utara, Kab. Sangihe, Sulawesi Utara.
Contact Person : F.M. MASSORA,
Hp 085240192657
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung ke Blog sederhana ini.. Silahkan berkomentar dengan bijak.. Komentar SPAM dan/atau berisi link aktif, tidak akan ditampilkan.. Terima Kasih..